Undang-undang Wilayah Negara: Payung Setelah Basah

Tulisan ini juga dimuat di harian Surabaya Post pada tanggal 15 Desember 2008. Silahkan diklik disini>>>

sm0042-eastindies1824Penegasan konsep hukum lama

Seolah lepas dari perhatian masyarakat umum, pada tanggal 22 Oktober 2008 DPR dalam rapat paripurna telah menyepakati Rancangan Undang-undang tentang Wilayah Negara dan mengesahkannya menjadi Undang-undang. Bila tidak berubah maka ini akan menjadi Undang-undang No. 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara. Sangat disayangkan karena materi Undang-undang ini yang begitu penting ternyata tidak banyak menarik perhatian pers dan akademisi.

Keadaan ini mungkin bisa dimaklumi bila menilik lebih jauh isi Undang-undang tersebut, banyak diantara pasal-pasalnya hanya merupakan penegasan atas hak yang sebenarnya telah dimiliki oleh negara Indonesia melalui beberapa instrumen hukum yang telah ada.

Indonesia telah meratifikasi United Nation on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 melalui Undang-undang No. 17 Tahun 1985. Didalamnya telah diatur secara tegas mengenai wilayah perairan, ruang udara diatasnya dan tanah dibawahnya di mana negara memiliki kedaulatan dan hak-hak berdaulat. Demikian juga mengenai cara penarikan garis batas antar negara yang berdampingan atau berhadapan dan jenis kewenangan yang diberikan dalam wilayah negara.

Aturan yang kurang lebih sama mengenai kedaulatan wilayah negara Indonesia sebenarnya juga telah dimuat dalam Undang-undang No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia yang mencabut Perpu No. 4 Prp. 1960 tentang Perairan Indonesia karena dianggap tidak sesuai lagi dengan rezim hukum negara kepulauan yang dianut Indonesia.

Namun seolah hanya mengulang, Undang-undang tentang Wilayah Negara yang baru ini kembali mengatur mengenai hal-hal yang telah diatur sebelumnya dalam kedua instrumen hukum diatas. Mengenai wilayah negara misalnya, ditegaskan kembali dalam Pasal 4 yaitu meliputi wilayah darat, wilayah perairan, dasar laut, dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Tidak ada konsep yang baru mengenai wilayah negara yang diatur dalam Undang-undang ini.

Demikian juga mengenai cara-cara penetapan batas negara, batas negara dan hak-hak Indonesia di ZEE dan Landas Kontinen dalam Undang-undang ini ternyata sudah dapat ditemui dalam UNCLOS 1982, Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, Undang Undang No. 1 Tahun 1973 Tentang Landas Kontinen Indonesia dan Undang-undang No. 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di ZEE Indonesia.

Dengan tidak adanya konsep baru tentang wilayah negara, nampaknya wajar bila salah satu tujuan dari lahirnya Undang-undang ini menurut Menteri Dalam Negeri diharapkan dapat menjadi payung hukum terhadap peraturan-peraturan sebelumnya. Sayangnya payung hukum ini justru lahir belakangan daripada peraturan yang dipayunginya, suatu hal yang agak tidak lazim. Sehingga keadaannya bagaikan menyediakan payung setelah badan kebasahan oleh hujan.

Menyisakan masalah hukum

Meskipun nampaknya hanya sebagai payung hukum, namun bukan berarti Undang-undang ini tidak menyisakan masalah. Beberapa aturan didalamnya justru bertentangan dengan aturan perundang-undangan sebelumnya.

Salah satunya adalah ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) huruf f yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk memberikan izin lintas damai kepada kapal-kapal asing untuk melintasi laut teritorial.

Ketentuan ini jelas bertentangan dengan UNCLOS 1982 yang sama sekali tidak memberikan hak kepada negara pantai untuk mengeluarkan atau tidak mengeluarkan izin terhadap lintas damai bahkan negara pantai dilarang menetapkan persyaratan yang berakibat penolakan atau pengurangan hak lintas damai (Pasal 24 ayat (1)(a)).

Permasalahan lainnya adalah dalam beberapa pasalnya Undang-undang ini menyebut hukum internasional sebagai salah satu dasar bagi penetapan batas wilayah negara di darat, laut dan udara. Demikian juga hukum internasional sebagai dasar pelaksanaan hak-hak berdaulat di ZEE, Landas Kontinen dan Zona Tambahan.

Penggunaan hukum internasional dalam permasalahan diatas menyisakan ketidakjelasan. Sampai saat ini para ahli hukum internasional sepakat bahwa sumber-sumber hukum internasional adalah sebagaimana yang dapat ditemui dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, yaitu perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional, prinsip hukum umum dan keputusan badan pengadilan internasional serta pendapat ahli-ahli hukum.

Permasalahannya adalah hukum internasional manakah diantara sumber-sumber hukum internasional diatas yang akan dijadikan dasar dalam Undang-undang Wilayah Negara ini? Tidak ada penjelasan lebih lanjut dan batasan dalam Undang-undang ini, artinya dimungkinkan bagi Indonesia untuk menggunakan seluruh sumber hukum internasional dalam menetapkan batas wilayahnya. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana bila hukum internasional ini ternyata merugikan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada?

Sementara Undang-undang No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional secara tegas telah membatasi masalah ini. Hal-hal yang menyangkut perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara dan kedaulatan atau hak berdaulat negara, seharusnya hanya akan mengikat negara Indonesia dengan perjanjian internasional melalui pengesahan dan pengesahan itu dilakukan dengan Undang-undang. Dalam proses pengesahan inilah nantinya Pemerintah bersama-sama dengan DPR akan membahas keuntungan dan kerugian kepentingan negara terhadap sebuah hukum internasional.

Harapan baru

Terlepas dari kenyataan bahwa Undang-undang ini hanya merupakan penegasan aturan hukum lama dan masih menyisakan permasalahan, namun ada juga harapan baru di dalamnya. Dengan Undang-undang ini, menghilangkan, merusak, mengubah dan memindahkan tanda batas negara akan dapat diancam hukuman pidana penjara dan denda. Ancaman ini berlaku untuk setiap orang dan korporasi, aturan hukum yang belum pernah ada sebelumnya. Dengan ini, pembalakan hutan di perbatasan yang selama ini dilakukan dengan cara memindahkan batas negara diharapkan dapat ditekan.

Permasalahan kesejahteraan masyarakat diperbatasan yang selama ini dianggap turut memberi andil dalam melemahkan kedaulatan negara juga telah diatur. Pemerintah akan membentuk Badan Pengelola Nasional dan Daerah untuk mengelola kawasan perbatasan yang salah satu tugasnya menetapkan kebijakan program pembangunan di perbatasan.

Sekaranglah waktunya untuk membuktikan apakah pemerintah benar-benar serius dalam mengatasi permasalahan di perbatasan dan kedaulatan wilayah. Mampukah Undang-undang Wilayah Negara ini menjadi payung yang melindungi masyarakat pulau terluar dari kemiskinan dan memberantas illegal logging di hutan-hutan perbatasan? Mari kita awasi bersama.

1 Comment

Filed under Hukum

One response to “Undang-undang Wilayah Negara: Payung Setelah Basah

  1. Dwi Yoga Pariyadi

    Terima kasih banyak…..
    Wawasan Bapak sangat luas dan tajam…
    Kami bangga karena muatan dibalik tulisan Bapak adalah Kecintaan Kepada Tanah Tumpah Darah… INDONESIA … tercinta …
    Jujur kami kagumi jiwa nasionalisme Bapak!!!!
    Salam Hormat,
    Pecinta NKRI

    Dwi Yoga Pariyadi

Leave a comment